Skripsi adalah bentuk karya ilmiah yang menjadi syarat izin bagi siswa tingkat akhir. Dalam metode penelitian kualitatif, proses wawancara merupakan teknik utama dalam menggali informasi mendalam dari narasumber. Namun, wawancara saja belum cukup.
Sayangnya, banyak siswa yang belum memahami bagaimana menyusun transkrip wawancara yang baik dan benar. Beberapa membuatnya terlalu singkat, tidak akurat, atau bahkan tidak mencantumkannya sama sekali.
Baca Juga: Kesalahan Kutipan dan Referensi: Mengapa Ini Penting dan Bagaimana Menghindarinya
Pentingnya Transkrip Wawancara dalam Penelitian Kualitatif
Dalam pendekatan kualitatif, data utama biasanya diperoleh melalui interaksi langsung dengan narasumber, salah satunya melalui teknik wawancara. Data yang dikumpulkan bersifat naratif, deskriptif, dan eksploratif, sehingga tidak cukup hanya disampaikan secara ringkas. Oleh karena itu, transkrip wawancara menjadi alat utama untuk menangkap isi wawancara secara lengkap dan dapat dijelaskan secara tematik.
Keberadaan transkrip menjamin transparansi dan akuntabilitas penelitian. Dosen pembimbing, penguji, atau pembaca lain dapat melihat bagaimana proses pengambilan data dilakukan. Mereka dapat menilai apakah pertanyaan yang diajukan relevan, apakah jawaban yang diberikan sumber sesuai dengan rumusan masalah, dan bagaimana peneliti menarik kesimpulan dari data tersebut.
Transkrip juga membantu peneliti melakukan proses coding atau pengkodean data. Dalam analisis kualitatif seperti analisis tematik atau grounded theory, peneliti harus membaca ulang transkrip untuk mencari pola, tema, atau kategori tertentu. Tanpa transkrip, proses ini akan sulit, karena peneliti tidak bisa mengingat semua detail dari hasil wawancara.
Selain itu, transkrip juga memudahkan peneliti dalam mengutip data primer. Dalam penulisan hasil dan pembahasan, sering kali siswa mengutip pernyataan langsung dari narasumber. Tanpa transkrip, kutipan ini bisa menjadi tidak akurat atau hanya berdasarkan ingatan, yang bisa menimbulkan bias.
Terakhir, transkrip yang menunjukkan etika akademik peneliti. Dengan mencantumkan transkrip, siswa menunjukkan bahwa ia benar-benar melakukan wawancara, bukan sekadar menyusun data dari dugaan atau persepsi sendiri. Hal ini penting untuk menjaga integritas ilmiah dalam karya akhir seperti skripsi.
Proses Penyusunan Transkrip Wawancara
Menyusun transkrip wawancara bukanlah pekerjaan yang sederhana. Diperlukan ketelitian, waktu, dan kesabaran untuk mentranskripsikan hasil wawancara secara utuh dan akurat. Proses ini biasanya dilakukan dalam beberapa tahap yang sistematis agar hasilnya dapat dijelaskan secara akademik.
Tahap pertama adalah mendengarkan ulang rekaman wawancara. Peneliti harus menyiapkan alat perekaman dan memastikan suara terdengar jelas. Jika perlu, gunakan earphone atau software transkripsi otomatis untuk membantu mempercepat proses. Namun tetap diperlukan pengecekan manual karena software tidak selalu akurat, terutama jika narasumber berbicara tidak jelas atau dalam bahasa daerah.
Tahap kedua adalah menulis secara verbatim atau kata demi kata. Dalam banyak kasus, transkrip ditulis lengkap, termasuk jeda, tawa, atau ekspresi khas narasumber. Hal ini dilakukan jika pendekatan penelitian memerlukan konteks emosional atau sosiolinguistik. Namun jika pendekatannya bersifat deskriptif biasa, peneliti bisa memilih format transkrip editan (transkrip yang diedit) yang lebih bersih dan rapi.
Selanjutnya peneliti dapat memberi kode pada bagian-bagian tertentu. Misalnya, setiap narasumber diberi label (N1, N2, dst.) dan setiap pertanyaan serta jawaban diberi nomor. Hal ini akan memudahkan dalam proses analisis kualitatif, seperti ketika mencari tema-tema utama dalam data.
Setelah transkrip selesai, tahap berikutnya adalah penyuntingan dan validasi. Peneliti harus memeriksa kembali apakah ada bagian yang salah ketik, terpotong, atau tidak sesuai dengan rekaman. Dalam beberapa kasus, transkrip dapat divalidasi ulang ke narasumber (pengecekan anggota) untuk memastikan keakuratan informasi.
Terakhir, transkrip yang telah selesai ditambahkan ke dalam lampiran skripsi. Transkrip biasanya diberi judul, informasi waktu dan tempat wawancara, serta identitas narasumber jika diperbolehkan. Jika narasumber meminta kerahasiaan, maka identitas dapat disamarkan.
Format Umum dan Struktur Transkrip Wawancara
Agar mudah dipahami dan dijelaskan, transkrip wawancara sebaiknya disusun menggunakan format yang sistematis. Format ini dapat bervariasi tergantung pendekatan penelitian, tetapi secara umum terdiri dari bagian-bagian berikut:
- Judul Transkrip : Menunjukkan narasumber dan topik. Misalnya: Transkrip Wawancara dengan Kepala Sekolah SMAN 1 Jakarta .
- Informasi Wawancara : Mencakup tanggal, waktu, tempat, metode (langsung/daring), dan durasi.
- Identitas Narasumber : Nama, usia, profesi, atau bisa disamarkan menjadi “Narasumber 1”, dst.
- Tanya-Jawab : Disusun secara dialog antara pewawancara (P) dan narasumber (N).
Contoh sederhananya:
P: Bagaimana pendapat Anda tentang kebijakan belajar berani selama pandemi?
N: Menurut saya, belajar berani itu memiliki tantangan, terutama bagi siswa yang tidak memiliki akses internet stabil… </span>
<strong> Format ini bisa ditulis dengan:
- Blok paragraf : jika ingin transkrip lebih ringkas.
- Dialog baris-per-baris : jika ingin menunjukkan interaksi dan dinamika percakapan lebih detail.
Pastikan tidak mengubah makna atau konteks jawaban narasumber dalam penyusunan transkrip.
Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Menyusun Transkrip
Agar transkrip wawancara Anda benar-benar dapat mendukung skripsi, perhatikan beberapa hal penting berikut:
- Akurasi Jangan mengubah isi jawaban narasumber, bahkan jika menurut Anda kalimatnya “kurang bagus”. Biarkan autentik.
- Bahasa Jika wawancara dilakukan dalam bahasa daerah atau bahasa Inggris, tertarik untuk menyebutkan versi asli dan versi terjemahan.
- Etika dan Izin Selalu meminta izin kepada narasumber sebelum merekam dan mencantumkan hasil transkripnya di skripsi. Jika narasumber ingin anonim, samarkan identitasnya.
- Pengkodean yang Konsisten Gunakan kode narasumber yang konsisten (misal: N1, N2, dst.), dan pastikan pengkodean ini juga digunakan saat menganalisis dan mengutip di bab IV.
- Struktur yang Rapi Gunakan heading, nomor halaman, dan spasi yang memudahkan pembaca. Hindari paragraf yang terlalu panjang.
Dengan mengikuti poin-poin tersebut, transkrip Anda akan terlihat profesional dan dapat diandalkan sebagai data utama.
Transkrip sebagai Bukti Validitas Penelitian
Lebih dari sekedar pelengkap, transkrip wawancara sebenarnya adalah bukti otentik dari validitas proses penelitian kualitatif. Transkrip menunjukkan bahwa peneliti benar-benar turun ke lapangan, menggali informasi secara langsung, dan tidak mengandalkan data sekunder atau asumsi pribadi.
Dalam beberapa metode kualitatif, seperti fenomenologi atau studi kasus, kehadiran transkrip menjadi sangat penting untuk menunjukkan bahwa peneliti menyelami pengalaman subjek secara mendalam. Ini juga penting dalam studi yang sensitif atau eksploratif, di mana pemahaman konteks dan bahasa narasumber menjadi sangat krusial.
Transkrip juga sering digunakan sebagai bahan refleksi atau triangulasi. Peneliti dapat membandingkan data dari satu sumber dengan sumber lainnya untuk melihat konsistensi atau perbedaan sudut pandang. Hal ini memberikan dimensi baru dalam analisis dan memperkuat kualitas temuan penelitian.
Oleh karena itu, menyusun transkrip dengan
baik bukan hanya tugas administratif, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab akademik dalam menghasilkan penelitian yang jujur, transparan, dan berkualitas tinggi.
Baca Juga: Kesalahan Logika dalam Skripsi
Kesimpulan
Transkrip wawancara adalah bagian krusial dalam skripsi yang menggunakan pendekatan kualitatif. Ia menjadi penghubung antara proses wawancara di lapangan dan analisis akademik di dalam dokumen skripsi. Dengan menyusun transkrip secara lengkap dan sistematis, siswa tidak hanya memenuhi syarat formalitas, tetapi juga memperkuat validitas dan kredibilitas hasil penelitian.
Penyusunan transkrip harus dilakukan dengan cermat, melalui proses mendengarkan, menuliskan secara verbatim, mengedit dengan hati-hati, serta menyajikannya dalam format yang mudah dibaca. Etika akademik, seperti izin dari narasumber dan anonimitas, juga harus diperhatikan untuk menjaga integritas penelitian.